Sebenarnya Budaya Kerja itu sdh lama dikenal oleh umat manusia, namun tdk disadari bhw suatu keberhasilan /kegagalan kerja itu berakar dari nilai-nilai yg dimiliki berupa perilaku yg menjadi kebiasaannya.
Nilai-nilai tsb bermula dari adat kebiasaan yg menjadi kebiasaan dlm berperilaku.
Karena nilai-nilai yg tlh menjadi kebiasaan tsb dinamakan budaya.
Budaya adalah keseluruhan cara hdp yg sdh menjadi kebiasaan di mana masyarakat tumbuh .
Mengingat budaya di sini dikaitkan dg kualitas kerja, maka dinamakan budaya kerja.
Budaya kerja tdk akan muncul begitu saja, akan tetapi hrs diupayakan dg sungguh-sungguh dlm proses kerja sehari-hari dg melibatkan semua warga sekolah.
Budaya kerja mrpkan “kawah candra dimuka” unt merubah cara kerja lama menjadi cara kerja baru yg berorientasi pemenuhan kebutuhan & kepuasan pelanggan.
Budaya kerja warga sekolah akan tampak pd kualitas kehidupan kerja suatu organisasi.
Jadi, budaya kerja akan muncul tdk hanya krn rangsangan (motivasi eksternal) atau dorongan dari Kepala sekolah saja tp yg lebih penting adanya hasrat unt memenuhi kebutuhan & kepuasan pelanggan.
Unt memenuhi kebutuhan & kepuasan pelanggan hrs diciptakan kerja sama & komunikasi thd warga sekolah.
Budaya kerja ini mulai terkenal stl Jepang mencapai tingkat kemajuan yg fantastis dg menerapkan manajemen mutu yg berakar dan bersumber dari budaya yg dimiliki bangsa Jepang dikombinasikan dg teknik-teknik manajemen modern pd th 1970-an.
Awalnya, Jepang mengundang guru mutu dari AS - Prof. Dr. Edward Deming & Prof. Dr. J.M. Juran.
Upaya kedua ahli tsb kmd diolah oleh Prof. Dr. Kauro Ishikawa yg menerapkan TQM berdasarkan pd kerja kelompok & partisipasi.
Nilai-nilai yg ada pd TQM oleh Ishikawa diterapkan dlm kerja kelompok & partisipasi .
Namun, perlu diingat bhw keberhasilan bangsa Jepang dkm dunia perdagangan dan teknologi, di samping berhasil menerapkan SMM juga krn dilandasi :
1.Semangat Bushido, > >> Motivasi internal bangsa Jepang.
2.Keinginan yg kuat bgs Jepang unt menyaingi AS. >>> Motivasi eksternal.
1.Proses pemelajaran praktik dasar kej tdk diajarkan scr mendasar.
Akibatnya, kesalahan diterima menjadi suatu kewajaran, antara lain : mutu hasil kerja dibiarkan apa adanya tanpa standar mutu; guru yg kurang bermutu ditugaskan di tk 1.
Ada sikap & pola pikir yg salah, seakan-akan pd tk 1, mutu tdk terlalu penting.
Padahal, unt mendptkan suatu program diklat yg bermutu tinggi, hrs diawali dg dasar yg kuat & benar.
2.Dlm pemelajaran praktik, siswa sering dibiarkan bekerja dg cara yg salah. Tdk mengikuti langkah kerja yg benar, posisi tubuh & gerak tangan tdk diperhatikan.
Pdhal scr teknis, mutu & produktivitas hasil kerja siswa sangat ditentukan oleh cara kerja yg benar.
Jml waktu pengalaman kerja siswa dpt meningkatkan mutu & produkvitas kerja, apabila dikerjakan dg dasar yg benar & cara kerja yg benar.
3.Membiarkan siswa bekerja dg mutu hasil kerja “asal jadi.” Banyak kegiatan siswa dikerjakan hanya sekedar formalitas tlh mengerjakan saja, tanpa adanya standar mutu yg hrs dicapai.
Guru memberi angka, ttp adalah “angka guru,” tdk ada hubungan dg standar mutu di dunia kerja.
Kebiasan guru & siswa yg meremehkan standar mutu dpt membentuk kebiasaan bekerja yg meremehkan mutu.
. Proses diklat tdk mengikuti prinsip belajar tuntas (mastery learning). Bisa jadi siswa dlm 3 tahun belajar tdk satupun dpt menyelesaikan mata diklat scr tuntas.
Akibatnya, stl siswa lulus sekolah tdk memiliki kemampuan & tdk percaya diri unt mengerjakan pekerjaannya.
5.Siswa dibiarkan bekerja tanpa bimbingan & pengawasan guru. Guru pasif, bahkan ada yg menghilang stl memberi tugas/pekerjaan.
Keadaan spt ini yg membuat siswa bekerja semaunya, bisa dg cara yg salah, dan hasil kerja asal jadi.
6. Siswa dibiarkan bekerja tanpa memperhatikan keselamatan kerja.
. Proses diklat tdk mengikuti prinsip belajar tuntas (mastery learning). Bisa jadi siswa dlm 3 tahun belajar tdk satupun dpt menyelesaikan mata diklat scr tuntas.
Akibatnya, stl siswa lulus sekolah tdk memiliki kemampuan & tdk percaya diri unt mengerjakan pekerjaannya.
5.Siswa dibiarkan bekerja tanpa bimbingan & pengawasan guru. Guru pasif, bahkan ada yg menghilang stl memberi tugas/pekerjaan.
Keadaan spt ini yg membuat siswa bekerja semaunya, bisa dg cara yg salah, dan hasil kerja asal jadi.
6. Siswa dibiarkan bekerja tanpa memperhatikan keselamatan kerja.
Masih dijumpai kebiasaan siswa bekerja dg cara yg tdk bertg jwb.
8.Masih ditemukan siswa bekerja praktik tanpa disertai dg lembar kerja. Guru hanya menjelaskan pekerjaan scr lisan, dan siswa mengerjakannya dg cara “kira-kira.”
9.Guru berada di sekolah hanya pd jam mengajarnya saja, dan perilaku spt ini dianggap sebagai sesuatu yg wajar. Padahal, sisa waktu di luar mengajar seharusnya digunakan unt perencanaan program pemelajaran, penyusunan bhn ajar, evaluasi hasil pemelajaran & evaluasi programnya, memberikan bimbingan pd siswa yg memerlukan pelayanan khusus, dan mengembangkan materi ajarnya.
10. Masih ditemukan guru mengajar dg cara menulis di papan tulis. Bahkan ditemukan siswa yg menulis bhn ajar di papan tulis, dan gurunya sendiri menghilang.
11.Warga sekolah kurang memiliki wawasan ekonomi. UP semestinya dipakai sebagai on the job siswa & memberikan income sekolah & warga sekolah.
Warga sekolah tdk peduli thd etos kerja perilaku, kebiasaan, dan budaya kerja spt di atas
sulit untuk menumbuhkan budaya kerja mutu.
untuk mengejar sekolah bermutu terpadu & produktivitas yg tinggi,
hanya mungkin terjadi jika budaya kerja sekolah kondusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar