IDEA Consultant in Indoor Activity

Rabu, 30 Maret 2011

PENERAPAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT DALAM PENDIDIKAN


 Dalam dunia persaingan global yang tajam saat ini, orang banyak berbicara tentang “mutu” terutama berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan produk dan/atau jasa. Suatu produk dibuat karena ada yang membutuhkan, dan kebutuhan tersebut berkembang seiring dengan tuntutan mutu penggunanya. Total Quality Management (TQM) atau disebut Manajemen Mutu Terpadu (MMT) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan mutu tersebut.
Suatu produk dan/atau jasa dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Titik temunya antara harapan dan kebutuhan pelanggaran dengan hasil produk dan/atau jasa itulah yang disebut “bermutu.” Jadi ukuran bermutu tidaknya suatu produk dan/atau jasa adalah pada terpenuhi tidaknya harapan dan kebutuhan pengguna/pelanggan. Semakin tinggi tuntutan pengguna maka semakin tinggi kualitas mutu tersebut.
Tulisan singkat ini ingin membahas bagaimana penerapan TQM/MMT dalam aktivitas  pendidikan sebagai bahan pengantar mengenalinya.

PENGERTIAN TQM
Menurut Salis (1993) TQM adalah sebagai suatu filosofi dan suatu metodologi untuk membantu mengelola perubahan, dan inti dari TQM adalah perubahan budaya dari pelakunya. Lebih lanjut Slamet (1995) menegaskan bahwa TQM adalah suatu prosedur dimana setiap orang berusaha keras secara terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses. TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku, tetapi merupakan prosesproses dan prosedur-prosedur untuk memperbaiki kinerja.

TQM juga menselaraskan usaha-usaha orang banyak sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan.

Oleh karena TQM menselaraskan usaha-usaha orang banyak dan agar mereka bersemangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan, maka menuntut adanya perubahan sifat hubungan antara yang mengelola (pimpinan) dan yang melaksanakan pekerjaan (staf atau karyawan). Perintah dari atasan diubah menjadi inisiatif dari bawah, dan tugas pimpinan bukanlah memberi perintah tetapi mendorong dan memfasilitasi perbaikan mutu pekerjaan.

APA  DAN  MENGAPA MUTU
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Setiap orang selalu mengharapkan bahkan menuntut mutu dari orang lain, sebaliknya orang lain juga selalu mengharapkan dan menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu bukanlah sesuatu yang baru, karena mutu adalah naluri manusia. Benda dan jasa sebagai produk dituntut mutunya, sehingga orang lain yang
menggunakan puas karenanya. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifat-sifat dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang secara sadar dilakukannya disebut “kinerja”. Kinerja itulah yang dituntut mutunya, sehingga muncul istilah “mutu kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut bermutu jika dapat menemuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Oleh karena itu, maka suatu produk atau jasa sebagai kinerja harus dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Dalam pembicaraan tentang mutu, terdapat unsur-unsur yang terkait, yaitu: produk dan jasa, penghasil produk/jasa, pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang bermutu dan kepuasan. Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena ada yang memerlukan. Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan adalah cerminan dari apa saja yang diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil produk/jasa. Adanya produk/jasa yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan melebihi dari sekedar kebutuhan dan harapan pelanggan/penggunanya, yang ditandai dengan kepuasan.

Ciri-ciri mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan) ditandai dengan:
(1) ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan (unsur menyenangkan pelanggan), (4) bertanggung jawab atas segala keluhan complain) pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut pendukung (Slamet, 1999).

Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan tepat waktu seperti yang disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau tertundanya waktu dari yang telah disepakati menjadi cacat mutu karena cidera janji. Akurasi pelayanan atau ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh pelanggan juga merupakan salah satu dari ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau kemelencengan dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat bahkan mendatangkan kerugian bagi pelanggan. Untuk itu menjadi penting melakukan proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses produksi/layanan dilakuan.

Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan pelanggan, sehingga kesopanan dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan pelanggan menjadi unsur penting untuk menjaga mutu. Ungkapan sehari-hari dalam dunia bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya adalah berusaha menyenangkan pembeli agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan lain. Setiap penghasil produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala yang telah diperbuatnya, ia harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko yang diakibatkan oleh pekerjaan itu. Semua yang menjadi keluhan (complain) pelanggan harus dipertanggung jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang dipesan/dibutuhkan sesuai janji kesepakatan sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab untuk menggantinya.

Sebagai penghasil produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan sarana dan kemampuan yang diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa penghasil produk/jasa haruslah profesional dan kompeten dengan bidangnya. Selain itu, sebagai penghasil produk/jasa haruslah memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk mendapatkan produk/jasa tersebut, baik yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kemudahan menjangkaunya.

Bentuk pelayanan hendaknya juga bervariasi, sehingga banyak pilihan bagi pelanggan. Inovasi haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk menunjang variasi layanan tersebut. Sedapat mungkin pelayanan bersifat pribadi lebih ditonjolkan, sehingga tidak terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan pelayanan harus pula diciptakan, misalnya berhubungan dengan lokasi/ruangan, fasilitas pelayanan yang memadai seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan, dan ketersediaian informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.

Peranan atribut pendudukung seperti lingkungan yang nyaman, kebersihan yang standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain-lain yang bersifat penunjang sangat diperlukan bagi suksesnya pelayanan mutu. Oleh karena itu perlu diperhatikan. Konsep mutu sebenarnya selain bersifat absolut juga bersifat relative dari pelanggannya. Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada suatu produk/jasa yang standar tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh suatu lembaga yang memiliki otonomi untuk itu. Mutu suatu produk/ jasa yang bersifat relatif berarti tergantung pada konsumennya/pelanggannya bagaimana mereka menetapkan standar kebutuhan dan harapannya.

Mengapa produk/ jasa harus bermutu? Dalam persaingan bebas kita seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau pelanggan (customers). Jika produk/layanan hasil kinerja kita tidak bermutu, maka customers akan meninggalkan kita, karena ada alternatif lain yang bias dipilih oleh mereka. Jika penghasil produk/jasa ingin tetap berlangsung usahanya (dipakai oleh customers), maka ia harus menjaga mutu bahkan meningkatkan mutu produk/jasa layanannya seiring dengan tuntutan kebutuhan dan harapan customers.

Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet (1999) adalah mengadung unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability), (2) keterjaminan (assurance), (3) penampilan (tangibility), (4) perhatian ( emphaty), dan (5) ketanggapan (responsiveness).

Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu pelayanan, terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/diperoleh, dan ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan. Keterjaminan suatu mutu jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya.

Penampilan adalah sosok dari produk/jasa dan hasil karyanya. Misalnya bersih, sehat, teratur dan rapi, enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan harmonis, dan buatannya baik. Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan (“seandainya saya dia”). Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramh dan memuaskan, memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap penuh simpati.

Adapun ketanggapan adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian terhadap keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respon pada permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan.

TUJUAN DAN UNSUR UTAMA TQM
Tujuan utama TQM adalah meningkatkan mutu pekerjaan, memperbaiki produktivitas dan efisiensi. TQM sebagai suatu prosedur untuk mencapai kesuksesan, dinilai berhasil manakala mutu dari suatu pekerjaan meningkat lebih baik kualitasnya dari sebelumnya, produktivitasnya tinggi yang ditunjukkan dengan hasil kerja berupa produk/jasa lebih bayak jumlahnya dari sebelumnya, dan lebih efisien yang bisa diartikan lebih murah biaya produksinya atau input lebih kecil daripada outputnya.

Ada lima unsur utama dalam penerapan TQM, yaitu: (1) berfokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematik, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan sumberdaya manusia, dan (5) komitmen pada mutu (Slamet,1999).

Manajemen mutu terpadu (TQM) berfokus pada pelanggan. Pelanggan adalah sosok yang dilayani. Perhatian dipusatkan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan. Untuk ini setiap yang akan melaksanakan TQM harus mengetahui ciri-ciri pelanggan-pelanggannya, dan karena itu maka harus mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan harapan pelanggan tersebut agar bisa memuaskannya. Produk/jasa yang dibuat atau diberikan haruslah bertumpu pada pelanggan. Perbaikan pada proses secara sistematik, menunjuk pada kondisi dimana setiap kegiatan hendaknya direncanakan dengan baik, dilaksanakan secara cermat, dan hasilnya dievaluasi dibandingkan dengan standar mutu yang ditentukan sebelumnya. Selain itu, bahwa setiap prosedur kerja yang sedang dilaksanakan juga perlu ditinjau apakah telah mendatangkan hasil yang diharapkan. Bila tidak, maka prosedur itu perlu diubah dan diganti dengan yang lebih baik dan sesuai. Jadi disini, harus ada keterbukaan dan kesediaan berubah dan menggantikan hal yang lama dengan hal yang baru jika memang diperlukan. Ini berlaku bagi multilevel, baik dari tingkat pimpinan sampai dengan staf terbawah.

Pemikiran jangka panjang menunjuk pada visi dan misi lembaga. Visi dan misi lembaga harus dirumuskan dan dicapai bersama oleh segenap unsur dalam lembaga, kemana arah lembaga akan tertuju untuk jangka panjang. Suatu kegiatan staf atau siapapun dalam lembaga tersebut harus dapat ditelusuri mampu menyumbang apa dan seberapa kepada pencapaian visi dan misi lembaga. Disilah maka, untuk menerapkan TQM dipersyaratkan adanya pimpinan yang memiliki visi jangka panjang, berkemampuan kerja keras, tekun dan tabah mengemban misi, disiplin, dan memiliki sikap kepelayanan yang baik misalnya: kepedulian terhadap staf, sopan dan berbudi, sabar, bijaksana, bersahabat dan bersedia membantu sesame dalam lembaga tersebut.

Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi kata kunci dalam penerapan TQM. Semua anggota atau bagian dari lembaga tersebut harus berusaha menguasai kompetensi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam lembaga harus terjadi suasana saling belajar, segala sumber belajar dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi masing-masing staf. Bagaikan suatu bangunan, lemahnya SDM dalam bagian tertentu dalam lembaga akan mengganggupencapaian visi dan misi, sehingga harus diperbaiki/ ditingkatkan.

Unsur lainnya adalah komitmen pada mutu. Semua kegiatan lembaga harus diorientasikan pada pencapaian mutu. Harus ada kesadaran dan keyakinan bagi seluruh anggota atau bagian dalam lembaga akan perlunya mutu kinerja masing-masing, dan karenanya harus ada tekat dan rasa keterikatan yang kuat untuk menjada dan meningkatkan mutu kerja masingmasing yang menyokong mutu lembaga. Dengan adanya komitmen pada mutu, akan mampu menggerakkan usaha-usaha yang terus menerus untuk meningkatkan mutu, sehingga tidak akan menyerah pada kendala-kendala dan kesulitan-kesulitan yang menghadang diperjalanan menerapkan TQM
dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan.

BAGAIMANA MENGHASILKAN MUTU?
Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat tempat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga penghasil produk/jasa, yaitu:

(1) Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga penghasil produk/jasa (stakeholders) . Dalam hal ini terutama antara pimpinan/pemilik lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.

(2) Perlunya ditumbuh-kembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu produk/jasa. Setiap orang harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.

(3) Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan TQM bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.

(4) Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil produksi/jasa. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan produk/jasa yang bermutu sesuai yang diharapkan.

Cara lain untuk mencapai suatu mutu dari produk/jasa, menurut Edward Deming (Salis, 1993) terdapat 14 prinsip yang harus dilakukan, yaitu:

(1)     Tumbuhkan terus menerus tekad yang kuat dan perlunya rencana jangka panjang berdasarkan visi ke depan dan inovasi baru untuk meraih mutu.
(2)     Adopsi filosofi yang baru. Termasuk didalamnya adalah cara-cara atau metode baru dalam bekerja.
(3)     Hentikan ketergantungan pada pengawasan jika ingin meraih mutu. Setiap orang yang terlibat karena sudah bertekat mencipkan mutu hasil produk/jasanya, ada atau tidak ada pengawasan haruslah selalu menjaga mutu kinerja masing-masing .
(4)     Hentikan hubungan kerja yang hanya atas dasar harga. Harga harus selalu terkait dengan nilai kualitas produk atau jasa.
(5)     Selamanya harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kualitas dan produktivitas dalam setiap kegiatan.
(6)     Lembagakan pelatihan sambil bekerja (on the job training), karena pelatihan adalah alat yang dahsyat untuk pengembangan kualitas kerja untuk semua tingkatan dalam unsur lembaga.
(7)     Lembagakan kepemimpinan yang yang membantu setiap orang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik misalnya: membina, memfasilitasi, membantu mengatasi kendala dll.)
(8)     Hilangkan sumber-sumber penghalang komunikasi antar bagian dan antar individu dalam lembaga.
(9)     Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi agar mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien.
(10)  Hilangkan slogan-slogan dan keharusan-keharusan kepada staf. Hal seperti itu biasanya hanya akan menimbulkan hubungan yang tidak baik antara atasan dan bawahan; atau lebih jauh akan menjadi penyebab rendahnya mutu dan produktivitas pada sisten organisasi; bawahan hanya bekerja sekedar memenuhi keharusan saja.
(11)  Hilangkan kuota atau target-target kuantitatif belaka. Bekerja dengan menekankan pada target kuantitatif sering melupakan kualitas.
(12)  Singkirkan penghalang yang merebut/merampas hak para pimpinan dan pelaksana untuk bangga dengan hasil kerjanya masing-masing.
(13)  Lembagakan program pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan diri bagi semua orang dalam lembaga. Setiap orang harus sadar bahwa sebagai profesional harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya, dan
(14)  Libatkan semua orang dalam lembaga ikut dalam proses transformasi menuju peningkatan mutu. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha memperbaiki mutu produk/jasa yang diusahakan.

Pendapat lain tentang bagiamana mencapai mutu yaitu dari Philip Crosby ( Salis, 1993), bahwa terdapat 14 langkah, meliputi:

(1)        Komitmen pada pimpinan. Inisiatif pencapaian mutu pada umumnya oleh pimpinan dan dikomunikasikan sebagai kebijakan secara jelas dan dimengerti oleh seluruh unsur pelaksana lembaga.
(2)        Bentuk tim perbaikan mutu yang bertugas merumuskan dan mengendalikan program peningkatan mutu.
(3)        Buatlah pengukuran mutu, dengan cara tentukan baseline data saat program peningkatan mutu dimulai, dan tentukan standar mutu yang diinginkan sebagai patokan. Dalam penentuan standar mutu libatkanlah pelanggan agar dapat diketahui harapan dan kebutuhan mereka.
(4)        Menghitung biaya mutu. Setiap mutu dari suatu produk/jasa dihitung termasuk didalamnya antara lain: kalau terjadi pengulangan pekerjaan jika terjadi kesalahan, inspeksi/supervisi, dan test/ percobaan.
(5)        Membangkitkan kesadaran akan mutu bagi setiap orang yang terlibat dalam proses produksi/jasa dalam lembaga.
(6)        Melakukan tindakan perbaikan. Untuk ini perlu metodologi yang sistematis agar tindakan yang dilakukan cocok dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, dan karenanya perlu dibuat suatu seri tugas-tugas tim dalam agenda yang cermat. Selama pelaksanaan sebaiknya dilakukan pertemuan regular agar didapat feed back dari mereka.
(7)        Lakukan perencanaan kerja tanpa cacat (zero deffect planning) dari pimpinan sampai pada seluruh staf pelaksana.
(8)        Adakan pelatihan pada tingkat pimpinan (supervisor training) untuk mengetahui peranan mereka masing-masing dalam proses pencapaian mutu, teristimewa bagi pimpinan tingkat menengah. Lebih lanjut juga bagi pimpinan tingkat bawah dan pelaksananya.
(9)        Adakan hari tanpa cacat, untuk menciptakan komitmen dan kesadaran tentang pentingnya pengembangan staf.
(10)     Goal Setting. Setiap tim/bagian merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan tepat dan harus dapat diukur keberhasilannya.
(11)     Berusaha menghilangkan penyebab kesalahan . Ini berarti sekaligus melakukan usaha perbaikan. Salah satu dari usaha ini adalah adanya kesempatan staf mengkomunikasikan kepada atasannya mana diantara pekerjaannya yang sulit dilakukan.
(12)     Harus ada pengakuan atas prestasi (recognition) bukan berupa uang, tapi misalnya penghargaan atau sertifikat dan lainnya sejenis.
(13)     Bentuk suatu Komisi Mutu, yang secara profesional akan merencanakan usaha-usaha perbaikan mutu dan memonitor secara berkelanjutan, dan
(14)     Lakukan berulangkali, karena program mencapai mutu tak pernah akan berakhir.

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TQM DALAM PENDIDIKAN
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Mereka yang belajar tersebut bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan
orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder  secondary external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga
pendidikan (internal customers). Walaupun para para guru/dosen/tutor dan tenaga   administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses  elayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas mereka diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial.

Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.

Sebagai contoh dari penerapan 14 prinsip-prinsip pencapaian mutu Edward Deming, kita bisa mengaplikasikan pada perguruan tinggi. Uraian tentang penerapan prinsip-prinsip tersebut di lembaga pendidikan/perguruan tinggi (Slamet, 1999), dapat meliputi hal-hal berikut:

(1)            Untuk menjadi perguruan tinggi (PT) yang bermutu perlu kesadaran, niat dan usaha yang sungguh-sungguh dari segenap unsur di dalamnya. Pengakuan orang lain (mahasiswa, sejawat dan masyarakat) bahwa PT kita adalah bermutu harus diraih.
(2)        PT yang bermutu adalah yang secara keseluruhan memberikan kepuasan kepada masyarakat pelanggannya, artinya harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi dengan jasa yang diberikan oleh PT tersebut. Kebutuhan pelanggan adalah berkembangnya SDM yang bermutu dan tersedianya informasi, pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat, karya/produk PT tersebut. Bentuk kepuasan pelanggan misalnya para lulusannya merasakan manfaat pendidikannya dalam meniti karirnya di lapangan kerja. Selain itu didalam PT tersebut terjadi proses belajar-mengajar yang teratur dan lancar, dosen-dosennya produktif, berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, dan lulusannya berperestasi cemerlang di masyarakat.
(3)        Perhatian PT selalu ditujukan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan: mahasiswa, masyarakat, industri, pemerintahan dan lainnya, sehingga mereka puas karenanya.
(4)            Dalam PT yang bermutu tumbuh dan berkembang kerjasama yang baik antar sesama unsur didalamnya untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Sebagai contoh kelompok pengajar bekerjasama menyusun startegi pembelajaran mahasiswa secara efektif dan efisien. Jika hanya satu atau dua saja dosen yang mengajar secara baik tidaklah cukup, karena tidak akan menjamin terjadinya mutu mahasiswa yang baik. Untuk itu, maka harus semua dosen menjadi pengajar yang baik. Sebaliknya, jika dosennya menjadi pengajar yang baik, maka mahasiswanya haruslah ingin belajar secara efektif. Proses belajar mengajar tidak dapat dikatakan efektif dan efisien jika hanya sepihak, dosennya saja atau mahasiswanya saja yang baik. Interaksi yang baik antar sesama unsure dalam PT harus terjalin secara intensif, agar pencapaian mutu dapat berhasil sesuai harapan. Dalam upaya menggiatkan kerjasama antar unsur dalam PT tersebut perlu dibentuk “tim perbaikan mutu” yang diberi kewenangan untuk mencari upaya agar mutu PT lebih baik. Untuk ini pelatihan kepada tim terutama tentang cara-cara bekerjasama yang efektif dan efisisen dalam tim sangat diperlukan.
(5)        Diperlukan pimpinan yang mampu memotivasi, mengarahkan, dan mempermudah serta mempercepat proses perbaikan mutu. Pimpinan lembaga (Pimpinan Fakultas, Pimpinan Jurusan, Pimpinan Program Studi dan pimpinan lainnya) bertugas sebagai motivator dan fasilitator bagi orang-orang yang bekerja dibawah pengawasannya untuk mencapai mutu. Setiap atasan adalah pemimpin, sehingga ia haruslah memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan haruslah yang membuat orang kemudian merasa lebih berdaya, sehingga yang dipimpin mampu melaksanakan tugas pekerjaannya lebih baik dan hasil yang lebih baik pula.
(6)        Semua karya PT ( pengajaran, penelitian, pengabdian, administrasi dll.) selalu diorientasikan pada mutu, karena setiap unsur yang ada didalamnya telah berkomitmen kuat pada mutu. Akibat dari orientasi ini, maka semua karya yang tidak bermutu ditolak atau dihindari.
(7)        Ada upaya perbaikan mutu PT secara berkelanjutan. Untuk ini standar mutu yang ditetapkan sebelumnya selalu dievaluasi dan diperbaiki sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
(8)        Segala keputusan untuk perbaikan mutu pelayanan pendidikan/pengajaran selalau didasarkan data dan fakta untuk menghindari adanya kelemahan dan keraguan dalam pelaksananannya.
(9)        Penyajian data dan fakta dapat ditunjang dengan berbagai alat dan teknik untuk perbaikan mutu yang bisa dianalisis dan disimpulkan, sehingga tidak menyesatkan.
(10)        Hendaknya pekerjaan di PT jangan dilihat sebagai pekerjaan rutin yang sama saja dari waktu ke waktu, karena bisa membosankan. Setiap kegiatan di PT harus direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat, serta hasilnya dievaluasi dan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan. Hendaknya tercipta kondisi pada setiap yang bekerja dilembaga tersebut untuk bersedia belajar sambil bekerja, dan sedapat mungkin diprogramkan baik belajar tentang materi, metode , prosedur dan lain-lain.
(11)     Dari waktu ke waktu prosedur kerja yang digunakan di PT perlu ditinjau apakah mendatangkan hasil yang diharapkan. Jika tidak maka prosedur tersebut perlu diubah dengan yang lebih baik.
(12)     Perlunya pengakuan dan penghargaan bagi yang telah berusaha memperbaiki mutu kerja dan hasilnya. Dosen-dosen dan karyawan administrasi mencoba cara-cara kerja baru dan jika mereka berhasil diberikan pengakuan dan penghargaan.
(13)     Perbaikan prosedur antar fungsi di PT sebagai bentuk kerjasama harus dijalin hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada yang lebih penting satu unsur dari unsur yang lain dalam mencapai mutu PT. Misalnya, tenaga administrasi sama pentingnya dengan tenaga pengajar, dan sebaliknya.
(14)     Tradisikan pertemuan antar pengajar dan mahasiswa untuk mereview proses belajar-mengajar dalam rangka memperbaiki pendidikan/pengajaran yang bemutu. Pertemuan dengan orang tua mahasiswa, pertemuan dengan tokoh masyarakat, dengan alumni, pemerintah daerah, pengusaha dan donatur PT dapat dilakukan oleh penyelenggara PT. Pendek kata, hendaknya semua unsur yang berkepentingan dengan PT dapat berpartisipasi ikut mengembangkan PT mencapai mutu yang baik.

Mendasarkan hal-hal diatas, tampak bahwa sebenarnya mutu pendidikan adalah merupakan akumulasi dari semua mutu jasa pelayanan yang ada di lembaga pendidikan yang diterima oleh para pelanggannya. Layanan pendidikan adalah suatu proses yang panjang, dan kegiatannya yang satu dipengaruhi oleh kegiatannya yang lain. Bila semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu.”

Sekali Melangkah Pantang Surut Arah !!!
Sampai Jumpa Di Puncak Kejayaan ….



Selasa, 15 Maret 2011

PARADOX QUALITY : Berpikir Tentang Mutu

Kesadaran terhadap mutu (quality) memiliki dampak yang luar biasa terhadap tingginya tuntutan manusia akan terpenuhinya keinginan dan kebutuhan mereka. Yang cukup dikhawatirkan adalah jangan sampai kodisi ini akan membuat manusia tidak lagi bisa membedakan apa yang menjadi harapannya dalam ukuran 'kebutuhan' atau kah 'keinginan'. Jelas sekali bahwa kebutuhan tentunya dilatar-belakangi oleh adanya realita; sedangkan keinginan adalah tidak terukur tingkat kepuasannya (baca: tanpa batas).

Ada banyak masyarakat kita yang saat ini sedang menikmati sebuah 'mutu pendidikan' apa adanya jauh dari ketercukupan sarananya, namun masyarakat tersebut tidak pernah merasa kurang apalagi mengeluh. Sementara pula saat yang sama, banyak orang di daerah ketercukupan sarana (baca: maju) telah terbiasa dengan mutu sekolah yang boleh diukur sebagai kemajuan.  Namun kondisi ini, malah membuat masyarakat 'maju' tersebut lah yang merasa kehidupannya (khususnya pendidikan) sangat 'kurang bermutu'. Sungguh menjadi sebuah pandangan 'mutu paradox' : kenapa keluhan kok tidak malah muncul dalam kondisi mereka yang 'apa adanya' ?

Memperhatikan kondisi di atas, bisa kita artikan bahwa sudah ada sebuah pergeseran atas tercapainya sebuah perubahan (kondisi).  Ternyata sebuah kemajuan yang dicapai (mutu) oleh kelompok masyarakat bukan atas prakarsa sebuah kekuatan sentral (pemimpin : pemerintah) seperti harapan yang ada pada benak kita di masa lalu. Kemajuan yang telah terjadi adalah lebih karena tuntutan dan kesadaran masing-masing individu dalam harapannya mendapatkan sesuatu (pendidikan) yang lebih baik. 

Jika pandangan singkat kami di atas bisa dinggap benar, mengapa tidak sebaiknya  'kita semua bersegera melakukan perubahan sendiri' tidak lagi menunggu kesempatan dan arahan dari pimpinan (pemerintah). Dalam hal ini, fungsi pemimpin lebih berfungsi sebagai 'koordinator perubahan' , 'koordinator mutu'. Jangan lagi kita tetep mempertahankan sebuah konsep kepemimpinan : "Ing Ngarso Sung Tulodo", "Ing Madya Mangun Karsa", & "Tut wuri handayani".

Sudah waktunya masing-masing individu melakukan perubahan. Karena terlalu lama jika kita menunggu perbahan dari 'Pimpinan Kita'. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa ternyata 'Pemimpin' di negeri ini sudah identik dengan : "Menang sendiri, Cari Keuntungan, Cari Kemapanan, Cari Kesempatan, Cari Kekuasaan, cari Pengakuan, ...Cari ..cari,... dan cari ".

Jangan lagi mengeluh saudara ku , lakukan lah perubahan mulai diri anda sendiri. Karena sebuah keberhasilan saat ini adalah semata mata karena kemauan kita untuk berubah. Allah telah menunjukkan Kuasa Nya, .....

"Sekali Melangkah Pantang Surut Arah ..."
"Sampai Jumpa di Puncak Kejayaan "....